Ditulis oleh Melky Kusuma
Aku melangkah di tanah yang tua dan bijak:
Kalimantan Selatan, bumi yang sunyi namun bersuara.
Angin yang melintas membawa wangi gambut basah, dan di kejauhan, gemuruh mesin menggantikan suara burung.
Aku menyusuri tepian sungai,
di mana perahu-perahu kecil berdansa di atas air. Pasar terapung, warisan yang tak bisa dipindahkan oleh zaman, di sanalah aku melihat wajah-wajah yang menua dengan anggun, menjual hasil bumi dengan senyum yang tak pernah tawar.
Lalu aku menuju TAHURA,
hutan yang bertahan seperti syair yang dilantunkan diam-diam.
Hijau yang tersisa, bernapas lirih di antara taring-taring industri.
Seekor bekantan menatapku, seakan bertanya:
"Apakah kau datang membawa harapan atau hanya catatan?"
Namun langkahku tak hanya menginjak tanah leluhur, ia juga melewati luka yang menganga.
Tambang-tambang rakus menggerus isi bumi,
menciptakan cekungan-cekungan bisu
tempat air berkaca akan kehilangan.
Di balik gemuruh excavator, aku mendengar jeritan yang tak terdengar.
Sungai yang dulu jernih kini keruh,
rumah bagi racun dan sisa janji yang mengendap.
Tapi budaya di sini tak lekang,
ia seperti bara kecil yang masih menyala di ujung malam.
Ia ada di tarian, di lagu-lagu Banjar yang dilantunkan bocah-bocah, dan di aroma masakan kampung,
dan dalam cara mereka menyebut tanah ini: “IBU”
Aku pulang membawa dua hal:
kekaguman dan kegelisahan.
Sebab tanah ini tidak kekurangan cinta,
hanya terlalu sering dijadikan korban dari nafsu yang dibungkus kemajuan semata.
Dan mungkin, tugas kita bukan sekadar melihat, tapi menjaga agar nyanyian hutan tak menjadi elegi terakhirnya.