Dari Limbah Jadi Berkah: Menata Ulang Ekonomi Hijau Banjarmasin

Opini Oleh : Rahmat Al Farizi (Sekbid PTKP HMI Komisariat Fakultas Syariah)

Setiap pagi di Banjarmasin, tumpukan sampah di pinggir jalan menjadi pemandangan yang tak lagi asing. Namun siapa sangka, di balik gunungan plastik dan sisa makanan itu, tersembunyi potensi ekonomi yang belum sepenuhnya tergarap. Persoalan sampah kini bukan lagi sekadar urusan kebersihan, tapi sudah menjadi persoalan tata kelola kota dan masa depan lingkungan.

Sejak TPA Basirih resmi ditutup pada Februari 2025 karena tak lagi memenuhi standar sanitary landfill, beban pengelolaan sampah meningkat tajam. Data Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Banjarmasin tahun 2024 mencatat, setiap hari kota ini menghasilkan lebih dari 600 ton sampah, dan lebih dari separuhnya adalah sampah organik. Tanpa perubahan cara pandang, tumpukan sampah itu bisa berubah menjadi bom waktu bagi kota seribu sungai ini.

Namun, di tengah krisis itu, muncul gerakan yang memberi harapan: bank sampah. Inisiatif masyarakat ini kini berkembang pesat. Berdasarkan data DLH, hingga akhir 2024 sudah ada 315 unit bank sampah aktif, naik 23 persen dibanding dua tahun sebelumnya. Program “Banjarmasin Wajib Pilah Sampah” yang diluncurkan Maret 2025 bahkan mewajibkan ASN dan pegawai non-ASN menjadi nasabah bank sampah di lingkungan kerjanya.

Hasilnya mulai terasa. Di Kelurahan Pemurus Luar, Bank Sampah Bugenvile kini memiliki 55 nasabah aktif. Sementara di Banjarmasin Selatan, Bank Sampah Angsoka melayani 115 nasabah. Jika rata-rata tiap unit mampu mengelola 50 kilogram sampah per minggu, maka sekitar 15 ton sampah berhasil dikelola langsung oleh masyarakat — tanpa harus menumpuk di TPS atau TPA. Ini bukti nyata bahwa kesadaran warga bisa menjadi motor perubahan.

Meski begitu, perjuangan belum selesai. Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian LHK (2023), timbulan sampah di Kalimantan Selatan mencapai 803 ribu ton per tahun, dengan 18 persen di antaranya berupa plastik. Angka itu menunjukkan bahwa upaya berbasis komunitas masih perlu diperkuat agar berdampak lebih luas.

Langkah Pemkot Banjarmasin memperkenalkan teknologi baru patut diapresiasi. Kini, alat pemilah otomatis ASSANO dengan kapasitas 1–2 ton per jam sudah dioperasikan, ditambah dukungan mesin pencacah plastik senilai Rp125 juta dari program CSR Bank Kalsel. Namun, upaya ini masih bersifat parsial dan belum sepenuhnya terintegrasi dalam sistem pengelolaan yang berkelanjutan. Kapasitas TPS 3R dan TPST baru mencakup sekitar 20 persen dari total timbulan sampah harian, masih jauh dari target nasional 30 persen pengurangan di sumber.

Ke depan, arah ekonomi hijau Banjarmasin perlu ditata lebih serius.
Pertama, perluasan dan peningkatan kapasitas TPS 3R agar mampu menampung dan mengolah sampah dalam skala besar.
Kedua, digitalisasi sistem bank sampah melalui aplikasi e-bank sampah agar transparan dan menarik bagi generasi muda.
Ketiga, membangun kemitraan ekonomi sirkular antara bank sampah, pelaku UMKM, dan industri daur ulang lokal untuk menciptakan rantai nilai baru dari hasil olahan sampah.
Keempat, memberikan insentif bagi masyarakat yang aktif memilah sampah, seperti keringanan retribusi atau bantuan alat sederhana bagi pengelola bank sampah produktif.

Sampah seharusnya tak lagi dipandang sebagai beban, melainkan sumber daya yang bernilai. Setiap kilogram sampah yang terpilah berarti mengurangi beban TPA, menambah pendapatan warga, dan menumbuhkan kesadaran kolektif untuk hidup lebih ramah lingkungan.

Krisis di TPA Basirih memang menjadi alarm keras bagi semua pihak. Tapi seperti kata pepatah, “setiap krisis menyimpan peluang.” Jika pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha mampu berjalan seirama dalam visi lingkungan berkelanjutan, maka bukan tidak mungkin Banjarmasin akan dikenal bukan hanya sebagai Kota Seribu Sungai, tapi juga sebagai kota yang menjadikan limbah sebagai sumber berkah.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama