iklan

IKLAN.

Pallawa Media

Layanan Pallawa Media.

Papan Iklan

Redaksi menarainfo.id

Pasang Iklan

Redaksi menarainfo.id.

Pasang Iklan Disini

Redaksi menarainfo.id.

Menuju Hari Bhayangkara, HmI Badko Sulbar Sambut Dengan Aksi Besar-besaran Di Kantor Kepolisian Daerah Sulawesi Barat


Mamuju, Himpunan mahasiswa Islam Badan Kordinasi Sulawesi Barat (HmI Badko Sulbar) melaksanakan konsolidasi besar-besaran menanggapi beberapa kasus yang dianggap tidak becus dalam proses pelaksanaannya di Polda Sulbar dan seluruh Polres yang ada di wilayah Sulawesi Barat.

HmI Badko Sulawesi Barat Bidang Perguruan Tinggi, Kemahasiswaan dan Pemuda (PTKP) memimpin konsolidasi akbar dengan mengundang seluruh Ketua Cabang dan Kabid PTKP Cabang se-Sulawesi Barat. 

“Kami menilai bahwa tugas dan fungsi Polri hari ini tidak sesuai dengan aturan berlaku. Ada banyak kasus penting yang ditangani oleh kepolisian terkhusus Polda Sulawesi Barat sampai hari ini hanya bersifat formal, tidak betul-betul selesai bahkan mangkrak.” Ucap Widodo, Kabid PTKP HmI Badko Sulbar.

Ini juga menyangkut kepercayaan Masyarakat Sulbar terhadap Institusi Polri sebagai pengayom serta penegak hukum yang sah di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Ada banyak kasus hukum yang sepertinya disepelekan oleh Institusi Polri di wilayah Sulawesi Barat. 

Kasus besar yang sempat diangkat oleh HmI Badko Sulbar seperti kasus peredaran narkotika dikendalikan dari dalam lapas, kasus korupsi perjalanan Dinas fiktif DPRD Sulbar serta transparansi dan akuntabilitas dalam prosedural pembuatan SIM dan STNK yang sampai hari ini tidak mampu di selesaikan oleh pihak kepolisisan. Hal ini mengindikasikan bahwa pihak terkait tidak melaksanakan tugas negara sebagaimana mestinya. 

HmI Badko Sulbar mempertanyakan komitmen, transparansi serta akuntabilitas kepolisian dalam menjalankan tugas. Jika hal ini saja tidak mampu dilaksanakan, maka kepolisian Daerah Sulbar tidak lagi dianggap presisi. Benarkah untuk rakyat? Benarkah untuk ummat? Benarkah untuk negara?   

“sebagai perpanjangan lidah rakyat, HmI berkomitmen penuh untuk memperhatikan jalur penegakan hukum yang sesuai dengan ketentuan perundan-undangan. Jika hal urgent saja tidak mampu di selesaikan, bagaimana kemudian kepolisian bisa mengawal kasus lainnya yang berkaitan langsung dengan Masyarakat. Hal ini juga menjadi acuan utama kami dalam menyambut Hari Bhayangkara sebagai refleksi terhadap kinerja kepolisian di daerah sulbar ini.” Sambung Fauzan selaku Wakabid PTKP Badko Sulbar.

Untuk megawali kegiatan penyambutan ini, kami selaku penanggung jawab utama telah mengundang dan menghubungi semua pengurus HmI Cabang yang ada di bawah kordinasi Badko Sulbar untuk melakukan konsolidasi. 

Ada 6 Cabang yang ada di Sulawesi Barat yaitu HmI cabang Polman, HmI Cabang Majene, HmI Cabang Manakarra, HmI Cabang Mateng, HmI Cabang Mamasa dan HmI Cabang Pasangkayu. 

Gelaran aksi demonstrasi ini akan menjadi Sejarah pertama di Sulbar Dimana seluruh Cabang tiap kabupaten beserta Pengurus HmI wilayah Sulawesi Barat menggelar aksi dalam mempertanyakan kinerja kepolisian dalam menjalalankan tugas sebagaimana perintah perundang-undangan yang berlaku. 

Selain beberapa issu yang akan di angkat oleh Badko Sulbar. Kami juga akan merampung semua persoalan yang ada ditingkat polres yang akan di masukkan oleh seluruh Cabang sejajaran Badko Sulbar.

Persoalan tentang dugaan gratifikasi penerimaan casis polri hingga peredaran rokok ilegal sampai beredarnya penyedia jaringan internal ilegal provider di Sulawesi Barat tak luput jadi sorotan HmI Badko Sulbar.

Badko Hmi sulawesi barat juga menajamkan sorotannya terhadap dugaan praktik beckingan yang di lakukan oleh kepolisiaan terhadap tambang-tambang yang ada di Sulbar mau yang punya izin maupun pertambangan tanpa izin (peti) yang tersebar di banyak titik di Sulawesi Barat. Yang semestinya harus segera di tangani dan di jawab jika slogan Polri presisi dan Polri untuk rakyat bukan hanya retorika simbolik semata.

Polri dalam hal ini Polda Sulawesi Barat harusnya menjadi sebuah institusi penegakan hukum yang benar-benar dapat di andalkan, bukan menjadi pemain dalam bobroknya penanganan kasus yang terjadi di Sulbar.
Kasus kasus ini akan terus berkembang seiring temuan dan aduan para kader Hmi Sulawesi Barat.

Soroti Kasus Korupsi Perjalanan Fiktif DPRD Sulbar, HmI Badko Sulbar Pertanyakan Kinerja Kepolisian


(Widodo kabid PTKP HmI Badko Sulbar)

Mamuju- Himpunan Mahasiswa Islam Badan Kordinasi Sulawesi Barat mempertanyakan kinerja kepolisian daerah Sulbar dalam penanganan kasus korupsi yang merupakan musuh negara karena dampaknya yang dapat merusak dan menghambat Pembangunan dan kesejahteraan Masyarakat. 

Negara bertanggung jawab penuh terhadap kesejahteraan rakyat Indonesia yang termaktub dalam perintah konstitusi, seperti Undang-Undang Dasar 1945. Konstitusi mengamanatkan negara untuk melindungi segenap bangsa dan memajukan kesejahteraan umum.

Dalam hal ini hal-hal yang berkaitan dengan penegakan hukum ditugaskan kepada Lembaga atau institusi yang diakui negara dan seluruh yang terkandung didalamnya. Kepolisian Republik Indonesia menjadi salah satu alat vital penting negara dan Masyarakat Indonesia dalam penegakan hukum yang adil dan transaparan dalam melaksanakan tugasnya.

Dalam perspektif hukum, korupsi didefinsikan sebagai Tindakan melawan hukum yang dilakukan perseorangan atau korporasi untuk memperkaya diri sendiri atau rang lain, yang merugikan negara atau perekonomian negara. 

Hal ini diatur lebih rinci dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. 

Beberapa waktu lalu Sulawesi Barat dikagetkan dengan berita dugaan kasus korupsi perjalanan dinas fiktif DPRD Sulbar. Kasus ini terjadi pada rentang periode tahun 2019-2024. Kasus ini menyeret nama-nama besar seperti Sekretaris DPRD Sulbar Muhammad Hamzih yang sampai hari ini tidak mengindahkan panggilan dari kepolisian untuk dimintai keterangan dan 28 ASN di Sekretariat DPRD Sulbar yang diduga terlibat dalam praktek busuk ini, malah dimutasi keberbagai OPD. 

Namun sampai hari ini tidak ada kejelasan pasti mengenai kasus tersebut. Kepolisian daerah sulbar dinilai sangat lamban dan tidak kompetibel dalam menangani kasus ini. Selain itu kepolisian daerah sulbar juga sama sekali tidak membeberkan berapa jumlah anggaran yang dikorupsi dalam kasus ini. 

Kepolisian daerah sulbar dinilai sangat tidak tegas dalam penanganan kasus yang merupakan kejahatan besar yang melibatkan ASN dan Petinggi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulawesi Barat. Kepolisian Daerah Sulbar harus bertindak aktif dan tegas dalam penyelesaian kasus ini sampai ke akar-akarnya. 

Saat di temui oleh wartawati media ini, Widodo kabid PTKP HmI Badko Sulbar mengatakan "Jika penegak hukum tidak bertindak tegas maka hal ini akan menjadi kebiasaan yang akan dibenarkan oleh semua pihak dan akan mengundang nama-nama lain untuk melakukan Tindakan korupsi-korupsi lainnya." Jelasnya

Lebih jauh Widodo mengingatkan bahwa HmI Badko Sulbar dalam hal ini bidang PTKP akan terus menyoroti dan mengawal kasus ini sampai pada titik akhir kejelasan.

"Segala tindak korupsi apapun bentuknya akan terus menjadi perhatian dan kajian utama kami. Jika hal ini tidak ditindak tegas maka hanya akan menambah kecemasan serta memperburuk keadaan." Tutup demisioner Sekretaris Umum HMI Cabang Manakarra tersebut 

HmI Badko Sulbar Soroti Biaya Pembuatan SIM dan STNK

Opini
Tanpa Transparansi dan Akuntabilitas, Keadilan prosedural hanya ilusi.

Ditulis oleh Fauzan, Wasekum PTKP HmI BADKO Sulbar.
 
Indonesia sebagai negara hukum, legalitas berkendara tidak semata urusan teknis tapi perwujudan prinsip kesetaraan dalam mengakses ruang publik. Salah satu syarat utama untuk berkendara adalah Surat Izin Mengemudi (SIM) sebagaimana diatur dalam Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Biaya penerbitan SIM sendiri telah ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2020 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kepolisian Negara Republik Indonesia. 

Berdasarkan ketentuan ini tarif resmi adalah:
• Rp120.000 untuk SIM A
• Rp100.000 untuk SIM C
• Rp50.000 untuk SIM D
• dan Rp250.000 untuk SIM Internasional.

Tarif ini adalah satu-satunya biaya resmi yang wajib dibayar dan masuk ke kas negara sebagai PNBP. Namun kenyataan di lapangan khususnya di wilayah Sulawesi Barat menunjukkan lonjakan angka yang tidak wajar. Berbagai laporan dan pengalaman masyarakat menunjukkan bahwa untuk membuat SIM C di Sulawesi Barat total biaya yang harus dikeluarkan berkisar antara Rp300.000 hingga Rp350.000. 

Rinciannya umumnya meliputi:
• Penerbitan SIM C (resmi): Rp100.000
• Tes kesehatan: Rp35.000–Rp50.000
• Tes psikologi: Rp75.000–Rp100.000
• Asuransi dan biaya lain (tidak selalu dijelaskan): Rp50.000–Rp100.000
Sayangnya tidak semua biaya tersebut tercantum jelas dalam papan pengumuman atau dipublikasikan secara daring oleh Polres.

Bahkan sebagian besar masyarakat tidak menerima kuitansi resmi atau salinan hasil tes psikologi dan surat keterangan dokter yang seharusnya menjadi hak administratif pemohon. Sebagai perbandingan di kota besar seperti Makassar total biaya pengurusan SIM C berkisar Rp235.000, sementara di wilayah Jakarta dan sekitarnya seperti Bekasi hanya mencapai sekitar Rp217.500. Bahkan jika masyarakat memilih jalur resmi daring melalui layanan e-PPSi milik Polri hanya perlu membayar Rp37.500 untuk tes psikologi daring, di luar biaya SIM yang ditetapkan PP Nomor 76 Tahun 2020, yakni Rp100.000 untuk SIM C. Artinya pengurusan SIM C secara daring hanya menghabiskan sekitar Rp137.500 jauh lebih murah dan transparan.


Ketidakjelasan ini membuka ruang praktik rente oleh oknum yang memanfaatkan lemahnya regulasi teknis. Biaya-biaya tambahan ini tidak tercatat dalam sistem resmi PNBP sehingga berpotensi melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2018 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak serta Pasal 23A UUD 1945 yang menegaskan bahwa pungutan negara harus berdasarkan undang-undang dan masuk dalam kas negara. Padahal dalam Surat Telegram Kapolri Nomor ST/2387/X/YAN.1.2./2022 ditegaskan bahwa tidak boleh ada pungutan tambahan di luar tarif PNBP resmi dan pelaksanaan pelayanan publik harus mengacu pada prinsip transparansi dan akuntabilitas.

Jalan raya semestinya dapat diakses oleh siapa pun yang memenuhi syarat kecakapan dan legalitas. Namun dalam kenyataan di Sulawesi Barat hak untuk berkendara secara sah perlahan berubah menjadi kemewahan. Banyak masyarakat sejatinya memiliki niat tulus untuk mendapatkan SIM bukan demi gengsi tapi demi keselamatan diri, kepatuhan hukum, dan ketertiban bersama. Sayangnya semangat itu kerap kandas ketika berhadapan dengan biaya pengurusan SIM yang mahal dan tidak transparan terutama di berbagai Polres wilayah Sulawesi Barat. Biaya keseluruhan untuk mengurus SIM C di daerah ini bisa mencapai Rp300.000 hingga Rp350.000 dengan rincian yang tidak selalu dijelaskan dan sering kali tanpa bukti pembayaran resmi. Angka tersebut jauh di atas biaya resmi yang ditetapkan dalam PP Nomor 76 Tahun 2020, dan ironisnya bahkan melebihi biaya di kota besar seperti Jakarta atau Makassar.

Kini bandingkan dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) Sulawesi Barat tahun 2024 yang hanya berada di kisaran Rp2.601.000 per bulan. Artinya untuk mengurus satu SIM C seorang pekerja harus merelakan lebih dari 13% penghasilannya hanya untuk bisa mendapatkan hak berkendara yang seharusnya dijamin secara adil oleh negara. Angka ini belum termasuk biaya operasional lain seperti transportasi dan hari kerja yang hilang karena proses pengurusan yang rumit dan panjang.

Namun persoalan ini tidak berhenti di SIM semata, biaya-biaya yang tidak transparan juga menjalar pada sistem pelayanan administrasi kendaraan bermotor yang dikelola Samsat. Lembaga ini, yang merupakan kerja sama antara Kepolisian, Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) dan PT Jasa Raharja seharusnya menjadi wadah pelayanan publik yang efisien. Sayangnya di lapangan justru menjadi labirin birokrasi yang membingungkan dan kadang mencekik.

Samsat bertanggung jawab atas pengurusan STNK, plat nomor (TNKB), pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), hingga Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB). Seluruh layanan ini memiliki dasar hukum yang jelas. UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah menetapkan bahwa PKB dikenakan sebesar 1,5% dari Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB) sedangkan BBN-KB dikenakan sebesar 10% untuk penyerahan pertama dan 1% untuk penyerahan kedua dan seterusnya. Contohnya dalam pengurusan balik nama sepeda motor biaya yang semestinya hanya berkisar Rp800.000 sampai Rp900.000 termasuk pajak tahunan, SWDKLLJ (Rp35.000), STNK (Rp100.000), dan TNKB (Rp60.000) bisa melonjak hingga Rp1.200.000 atau lebih dan sering kali tanpa adanya rincian resmi atau struk yang sah. 

Praktik semacam ini tidak hanya melanggar prinsip keadilan sosial tetapi juga bertentangan langsung dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan khususnya Pasal 10 ayat (2) huruf c, yang mewajibkan penyelenggara pemerintahan untuk menjamin keterbukaan informasi publik sebagai bagian dari Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Ketika rincian biaya tidak diumumkan secara transparan dan masyarakat tidak diberikan hak akses atas informasi tersebut maka itu merupakan pelanggaran administratif yang mencederai kepercayaan publik terhadap negara.

Kantor Samsat di berbagai wilayah Sulawesi Barat masih minim dalam hal keterbukaan hampir tidak ditemukan papan informasi atau brosur resmi tentang tarif dan simulasi penghitungan pajak. Masyarakat yang datang lebih banyak pasrah terhadap informasi yang disampaikan petugas atau bahkan "diserahkan" ke biro jasa. Ini adalah bentuk pembiaran struktural yang memperkuat ketimpangan akses atas pelayanan publik. Rakyat kecil dipaksa membayar lebih karena tidak tahu dan negara abai menunaikan kewajiban pendidikannya.

Inilah kenyataan getir yang membuat banyak warga akhirnya mundur satu langkah, masyarakat bukan tidak ingin memiliki SIM bukan pula anti terhadap aturan hukum namun sistem yang dibentuk oleh lembaga negara baik dalam pengurusan SIM maupun administrasi kendaraan di Samsat terlalu mahal dan terlalu rumit bagi rakyat kecil. Petani, buruh harian, mahasiswa, hingga warga pedesaan, dipaksa berhadapan dengan tarif yang tidak transparan, prosedur yang memusingkan, dan layanan yang sering kali tidak ramah terhadap keterbatasan mereka. Tak sedikit dari mereka akhirnya tetap berkendara tanpa SIM atau menunda kewajiban pembayaran pajak kendaraan, bukan karena membangkang, tapi karena tidak sanggup menanggung biaya yang seolah dibiarkan liar dan tak terkendali.

Perlu adanya penataan ulang terhadap seluruh sistem layanan kepolisian dan Samsat di Sulawesi Barat adalah suatu keharusan, bukan pilihan. Setiap Polres wajib membuka seluruh komponen biaya pengurusan SIM secara transparan, memastikan hasil ujian diberikan sebagai hak administratif warga, serta menyesuaikan beban biaya dengan realitas ekonomi lokal.
 Begitu pula kantor Samsat mereka harus benar-benar menjalankan mandat Perda Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pajak Daerah, dengan menyediakan informasi terbuka mengenai tarif Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama (BBN-KB) dan rincian biaya lainnya. SIM dan STNK bukan sekadar dokumen legal. Ia adalah simbol kehadiran negara dalam melindungi, melayani, dan memperlakukan rakyatnya secara setara. Ketika rakyat yang paling ingin taat justru terhalang oleh tarif yang tidak adil dan sistem yang tidak berpihak maka keadilan itu sendiri sedang tersingkir dari jalan raya.

Tutup Rakerda Ke-1 Badko HMI Sulawesi Barat. Muhammad Ridwan: Hasil Rakerda ini Akan Menjadi Peta Jalan Kita


Mamasa, 22 Juni 2025 – Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam (Badko HMI) Sulawesi Barat resmi menutup rangkaian Rapat Kerja Daerah (Rakerda) yang berlangsung sejak 20 hingga 22 Juni 2025 di Kabupaten Mamasa. 

Rakerda ini menjadi forum penting dalam merumuskan arah gerakan dan program kerja Badko HMI Sulbar untuk periode 2024–2026, di bawah kepemimpinan Muhammad Ridwan selaku Ketua Umum.

Penutupan Rakerda ditandai dengan penyerahan resmi dokumen hasil kerja dari masing-masing bidang kepada Ketua Umum, dipimpin langsung oleh Ketua Bidang Pembinaan Aparatur Organisasi (PAO), Ahmad Muslim. Seremoni tersebut menjadi simbol kuat konsolidasi organisasi serta komitmen bersama untuk menjalankan rekomendasi strategis hasil Rakerda.

Salah satu poin utama yang menjadi sorotan dalam Rakerda kali ini adalah penetapan program-program kaderisasi sebagai prioritas utama, terutama pelaksanaan Advance Training (Latihan Kader III) yang merupakan jenjang tertinggi dalam proses pengkaderan HMI. Advance Training dianggap krusial sebagai sarana pembentukan kader paripurna yang memiliki kapasitas ideologis, intelektual, dan kepemimpinan yang tangguh.

Tak hanya itu, Rakerda juga menekankan pentingnya integrasi penguatan digital aktivisme sebagai bagian dari respons organisasi terhadap tantangan zaman. Digitalisasi dianggap sebagai sarana efektif dalam perluasan pengaruh, penyebaran nilai-nilai perjuangan, serta konsolidasi kader di era teknologi informasi. Oleh karena itu, pengembangan kapasitas kader dalam bidang komunikasi digital, media sosial, dan keamanan siber menjadi bagian dari program prioritas yang direkomendasikan oleh berbagai bidang.

Selain itu, Rakerda juga menyepakati pentingnya pelaksanaan Pelatihan Khusus Pembinaan Aparatur (PKPA) yang berfungsi untuk memperkuat tata kelola internal dan struktur organisasi HMI di semua tingkatan. PKPA akan menjadi alat penting dalam meningkatkan kualitas aparatur organisasi agar mampu menjalankan tugasnya dengan profesional, terukur, dan bertanggung jawab.

Dalam sambutannya, Ahmad Muslim menyampaikan bahwa Rakerda ini telah menyerap aspirasi berbagai pihak dan menghasilkan rumusan program yang realistis dan progresif.

"Advance Training, PKPA, hingga penguatan digital aktivisme bukan sekadar jargon, tapi keharusan yang mesti segera direalisasikan. Kader HMI harus disiapkan tidak hanya kuat dalam ideologi, tapi juga melek teknologi dan tangguh dalam pengelolaan organisasi," ujarnya.

Sementara itu, Muhammad Ridwan selaku Ketua Umum Badko HMI Sulbar menyampaikan apresiasi atas semangat kolektif seluruh bidang dalam menyusun program kerja yang adaptif dan solutif terhadap tantangan internal dan eksternal organisasi.

"Hasil Rakerda ini akan menjadi peta jalan kita. Advance Training LK III adalah agenda prioritas yang akan kita realisasikan dalam waktu dekat, diikuti dengan penguatan digitalisasi gerakan dan pelaksanaan PKPA. Kita akan kawal semua rekomendasi dengan penuh komitmen dan tanggung jawab," tegasnya.

Selain bidang kaderisasi dan kelembagaan, Rakerda juga menghasilkan berbagai program lintas sektor seperti advokasi isu-isu kerakyatan, pengembangan pusat data kader, pelatihan kepemimpinan strategis, hingga kolaborasi dengan elemen masyarakat sipil dan pemerintahan daerah.

Dengan ditutupnya Rakerda ini, Badko HMI Sulawesi Barat menunjukkan kesiapannya untuk bergerak lebih terstruktur dan terarah. Semangat juang dan cita-cita luhur HMI untuk mencetak insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur kini memasuki babak baru yang lebih progresif dan relevan dengan tantangan zaman.