Oleh: Muhammad Ridhani Firdaus
Anggota HmI Komisariat Tarbiyyah dan Keguruan, juga Ketua Komisi 4 Aspirasi dan Kebijakan Publik SEMA FTK
Revitalisasi Sungai Veteran di Banjarmasin menjadi proyek yang ramai diperbincangkan dalam beberapa bulan terakhir. Di satu sisi, proyek ini membawa harapan besar bagi wajah kota yang dikenal sebagai “Kota Seribu Sungai.” Namun di sisi lain, muncul kekhawatiran dari berbagai kalangan bahwa upaya revitalisasi justru berpotensi menggeser fungsi ekologis sungai yang selama ini menjadi urat nadi kehidupan masyarakat Banjarmasin. Sungai bukan hanya sekadar saluran air, melainkan ruang sosial yang memiliki nilai budaya, ekonomi, dan historis yang sangat kuat bagi warga kota.
Menurut Dr. Subhan Syarief, fokus proyek ini tampak lebih condong pada aspek estetika dan tata ruang kota, bukan pada fungsi utama sungai sebagai penyalur air dan pengendali banjir. Ia menilai, dalam konteks perubahan iklim yang kini semakin ekstrem, penyempitan alur sungai justru dapat memperbesar risiko banjir di kawasan padat penduduk. Pandangan serupa disampaikan oleh Ketua WALHI Kalimantan Selatan, Raden Rafiq Sepdian Fadel Wibisono, yang menyoroti potensi pelanggaran aturan lingkungan serta ancaman terhadap keanekaragaman hayati sungai. Bagi WALHI, sungai bukan sekadar bagian dari lanskap kota, melainkan ekosistem hidup yang harus dijaga keseimbangannya.
Namun, tidak semua pihak menolak langkah revitalisasi ini. Feryansyah, perwakilan organisasi masyarakat, menyambut baik inisiatif pemerintah tersebut. Menurutnya, revitalisasi dapat menjadi titik balik bagi Banjarmasin dalam menghadirkan ruang publik yang bersih, aman, dan menarik bagi masyarakat. Ia menilai proyek ini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi lokal melalui sektor wisata air, serta memperkuat identitas kota sebagai destinasi unggulan di Kalimantan Selatan tentu dengan catatan bahwa proyek ini dijalankan secara berkelanjutan dan tidak merugikan lingkungan.
Lebih jauh, revitalisasi sungai seharusnya tidak hanya dipahami sebagai pembangunan fisik, tetapi juga sebagai upaya membangun kesadaran kolektif masyarakat terhadap pentingnya menjaga lingkungan. Masyarakat Banjarmasin memiliki ikatan emosional yang kuat dengan sungai, karena di sanalah denyut kehidupan sosial dan ekonomi berlangsung selama berabad-abad. Ketika sungai diubah tanpa mempertimbangkan aspek sosial dan budaya, maka yang hilang bukan hanya ekosistem, tetapi juga identitas masyarakatnya. Oleh karena itu, setiap kebijakan pembangunan mesti berpijak pada nilai-nilai lokal yang hidup di tengah warga, agar pembangunan tidak tercerabut dari akar budaya yang telah lama tumbuh.
Perbedaan pandangan ini menggambarkan betapa kompleksnya persoalan pembangunan di kawasan perkotaan modern. Kepentingan estetika, ekonomi, sosial, dan ekologi sering kali saling bersinggungan. Di sinilah peran pemerintah menjadi sangat krusial yang bukan hanya sebagai pelaksana proyek, tetapi juga sebagai penengah yang adil dan bijak. Pendekatan partisipatif perlu dikedepankan, dengan melibatkan masyarakat, akademisi, dan lembaga lingkungan agar setiap langkah pembangunan sungguh-sungguh berpihak pada kesejahteraan warga sekaligus kelestarian alam.
Jika revitalisasi Sungai Veteran dilakukan dengan prinsip transparansi, keberlanjutan, dan partisipasi publik, maka proyek ini bisa menjadi simbol kemajuan kota yang berakar pada kearifan lokal. Sebaliknya, jika hanya mengejar keindahan fisik tanpa mempertimbangkan fungsi ekologisnya, sungai bisa kehilangan ruhnya sebagai sumber kehidupan. Maka, yang kita butuhkan bukan sekadar sungai yang indah di mata, tetapi sungai yang hidup di hati dan memberi manfaat nyata bagi generasi masa depan.