Opini
Tanpa Transparansi dan Akuntabilitas, Keadilan prosedural hanya ilusi.
Ditulis oleh Fauzan, Wasekum PTKP HmI BADKO Sulbar.
Indonesia sebagai negara hukum, legalitas berkendara tidak semata urusan teknis tapi perwujudan prinsip kesetaraan dalam mengakses ruang publik. Salah satu syarat utama untuk berkendara adalah Surat Izin Mengemudi (SIM) sebagaimana diatur dalam Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Biaya penerbitan SIM sendiri telah ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2020 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Berdasarkan ketentuan ini tarif resmi adalah:
• Rp120.000 untuk SIM A
• Rp100.000 untuk SIM C
• Rp50.000 untuk SIM D
• dan Rp250.000 untuk SIM Internasional.
Tarif ini adalah satu-satunya biaya resmi yang wajib dibayar dan masuk ke kas negara sebagai PNBP. Namun kenyataan di lapangan khususnya di wilayah Sulawesi Barat menunjukkan lonjakan angka yang tidak wajar. Berbagai laporan dan pengalaman masyarakat menunjukkan bahwa untuk membuat SIM C di Sulawesi Barat total biaya yang harus dikeluarkan berkisar antara Rp300.000 hingga Rp350.000.
Rinciannya umumnya meliputi:
• Penerbitan SIM C (resmi): Rp100.000
• Tes kesehatan: Rp35.000–Rp50.000
• Tes psikologi: Rp75.000–Rp100.000
• Asuransi dan biaya lain (tidak selalu dijelaskan): Rp50.000–Rp100.000
Sayangnya tidak semua biaya tersebut tercantum jelas dalam papan pengumuman atau dipublikasikan secara daring oleh Polres.
Bahkan sebagian besar masyarakat tidak menerima kuitansi resmi atau salinan hasil tes psikologi dan surat keterangan dokter yang seharusnya menjadi hak administratif pemohon. Sebagai perbandingan di kota besar seperti Makassar total biaya pengurusan SIM C berkisar Rp235.000, sementara di wilayah Jakarta dan sekitarnya seperti Bekasi hanya mencapai sekitar Rp217.500. Bahkan jika masyarakat memilih jalur resmi daring melalui layanan e-PPSi milik Polri hanya perlu membayar Rp37.500 untuk tes psikologi daring, di luar biaya SIM yang ditetapkan PP Nomor 76 Tahun 2020, yakni Rp100.000 untuk SIM C. Artinya pengurusan SIM C secara daring hanya menghabiskan sekitar Rp137.500 jauh lebih murah dan transparan.
Ketidakjelasan ini membuka ruang praktik rente oleh oknum yang memanfaatkan lemahnya regulasi teknis. Biaya-biaya tambahan ini tidak tercatat dalam sistem resmi PNBP sehingga berpotensi melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2018 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak serta Pasal 23A UUD 1945 yang menegaskan bahwa pungutan negara harus berdasarkan undang-undang dan masuk dalam kas negara. Padahal dalam Surat Telegram Kapolri Nomor ST/2387/X/YAN.1.2./2022 ditegaskan bahwa tidak boleh ada pungutan tambahan di luar tarif PNBP resmi dan pelaksanaan pelayanan publik harus mengacu pada prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Jalan raya semestinya dapat diakses oleh siapa pun yang memenuhi syarat kecakapan dan legalitas. Namun dalam kenyataan di Sulawesi Barat hak untuk berkendara secara sah perlahan berubah menjadi kemewahan. Banyak masyarakat sejatinya memiliki niat tulus untuk mendapatkan SIM bukan demi gengsi tapi demi keselamatan diri, kepatuhan hukum, dan ketertiban bersama. Sayangnya semangat itu kerap kandas ketika berhadapan dengan biaya pengurusan SIM yang mahal dan tidak transparan terutama di berbagai Polres wilayah Sulawesi Barat. Biaya keseluruhan untuk mengurus SIM C di daerah ini bisa mencapai Rp300.000 hingga Rp350.000 dengan rincian yang tidak selalu dijelaskan dan sering kali tanpa bukti pembayaran resmi. Angka tersebut jauh di atas biaya resmi yang ditetapkan dalam PP Nomor 76 Tahun 2020, dan ironisnya bahkan melebihi biaya di kota besar seperti Jakarta atau Makassar.
Kini bandingkan dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) Sulawesi Barat tahun 2024 yang hanya berada di kisaran Rp2.601.000 per bulan. Artinya untuk mengurus satu SIM C seorang pekerja harus merelakan lebih dari 13% penghasilannya hanya untuk bisa mendapatkan hak berkendara yang seharusnya dijamin secara adil oleh negara. Angka ini belum termasuk biaya operasional lain seperti transportasi dan hari kerja yang hilang karena proses pengurusan yang rumit dan panjang.
Namun persoalan ini tidak berhenti di SIM semata, biaya-biaya yang tidak transparan juga menjalar pada sistem pelayanan administrasi kendaraan bermotor yang dikelola Samsat. Lembaga ini, yang merupakan kerja sama antara Kepolisian, Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) dan PT Jasa Raharja seharusnya menjadi wadah pelayanan publik yang efisien. Sayangnya di lapangan justru menjadi labirin birokrasi yang membingungkan dan kadang mencekik.
Samsat bertanggung jawab atas pengurusan STNK, plat nomor (TNKB), pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), hingga Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB). Seluruh layanan ini memiliki dasar hukum yang jelas. UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah menetapkan bahwa PKB dikenakan sebesar 1,5% dari Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB) sedangkan BBN-KB dikenakan sebesar 10% untuk penyerahan pertama dan 1% untuk penyerahan kedua dan seterusnya. Contohnya dalam pengurusan balik nama sepeda motor biaya yang semestinya hanya berkisar Rp800.000 sampai Rp900.000 termasuk pajak tahunan, SWDKLLJ (Rp35.000), STNK (Rp100.000), dan TNKB (Rp60.000) bisa melonjak hingga Rp1.200.000 atau lebih dan sering kali tanpa adanya rincian resmi atau struk yang sah.
Praktik semacam ini tidak hanya melanggar prinsip keadilan sosial tetapi juga bertentangan langsung dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan khususnya Pasal 10 ayat (2) huruf c, yang mewajibkan penyelenggara pemerintahan untuk menjamin keterbukaan informasi publik sebagai bagian dari Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Ketika rincian biaya tidak diumumkan secara transparan dan masyarakat tidak diberikan hak akses atas informasi tersebut maka itu merupakan pelanggaran administratif yang mencederai kepercayaan publik terhadap negara.
Kantor Samsat di berbagai wilayah Sulawesi Barat masih minim dalam hal keterbukaan hampir tidak ditemukan papan informasi atau brosur resmi tentang tarif dan simulasi penghitungan pajak. Masyarakat yang datang lebih banyak pasrah terhadap informasi yang disampaikan petugas atau bahkan "diserahkan" ke biro jasa. Ini adalah bentuk pembiaran struktural yang memperkuat ketimpangan akses atas pelayanan publik. Rakyat kecil dipaksa membayar lebih karena tidak tahu dan negara abai menunaikan kewajiban pendidikannya.
Inilah kenyataan getir yang membuat banyak warga akhirnya mundur satu langkah, masyarakat bukan tidak ingin memiliki SIM bukan pula anti terhadap aturan hukum namun sistem yang dibentuk oleh lembaga negara baik dalam pengurusan SIM maupun administrasi kendaraan di Samsat terlalu mahal dan terlalu rumit bagi rakyat kecil. Petani, buruh harian, mahasiswa, hingga warga pedesaan, dipaksa berhadapan dengan tarif yang tidak transparan, prosedur yang memusingkan, dan layanan yang sering kali tidak ramah terhadap keterbatasan mereka. Tak sedikit dari mereka akhirnya tetap berkendara tanpa SIM atau menunda kewajiban pembayaran pajak kendaraan, bukan karena membangkang, tapi karena tidak sanggup menanggung biaya yang seolah dibiarkan liar dan tak terkendali.
Perlu adanya penataan ulang terhadap seluruh sistem layanan kepolisian dan Samsat di Sulawesi Barat adalah suatu keharusan, bukan pilihan. Setiap Polres wajib membuka seluruh komponen biaya pengurusan SIM secara transparan, memastikan hasil ujian diberikan sebagai hak administratif warga, serta menyesuaikan beban biaya dengan realitas ekonomi lokal.
Begitu pula kantor Samsat mereka harus benar-benar menjalankan mandat Perda Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pajak Daerah, dengan menyediakan informasi terbuka mengenai tarif Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama (BBN-KB) dan rincian biaya lainnya. SIM dan STNK bukan sekadar dokumen legal. Ia adalah simbol kehadiran negara dalam melindungi, melayani, dan memperlakukan rakyatnya secara setara. Ketika rakyat yang paling ingin taat justru terhalang oleh tarif yang tidak adil dan sistem yang tidak berpihak maka keadilan itu sendiri sedang tersingkir dari jalan raya.