"Daerah Terpencil dan Janji Inklusi Digital: Harapan atau Ilusi?"

Opini Hijranah Kader HMI Sulbar
Di tengah gegap gempita transformasi digital yang digadang-gadang mampu menjangkau seluruh penjuru negeri, daerah-daerah terpencil masih sering berada di luar radar kemajuan. Akses internet lambat, infrastruktur digital minim, dan kurangnya literasi teknologi menjadi potret sehari-hari yang kontras dengan slogan inklusi digital yang digaungkan pemerintah. Pertanyaannya, apakah inklusi digital benar-benar menyasar semua, atau hanya menjadi janji yang indah di atas kertas? Bagi banyak warga di pelosok negeri, digitalisasi masih terasa sebagai harapan yang jauh, bahkan mungkin ilusi.

Di Sulawesi Barat, misalnya, capaian Indeks Masyarakat Digital Indonesia (IMDI) berada di posisi cukup, yaitu 41,65, di bawah rata-rata nasional yang mencapai 43,34 pada tahun 2024 . Lebih jauh lagi, jajaran indikator seperti pemberdayaan digital dan penciptaan pekerjaan digital masih memprihatinkan, dengan nilai masing-masing hanya sekitar 25 dan 38 .

Sementara itu, program-program seperti Marasa (Mandiri, Cerdas, Sehat) telah berhasil menjangkau 32 desa terpencil dengan akses internet gratis melalui layanan kantor desa . Bahkan pada November 2024, Pemprov Sulawesi Barat menyalurkan solusi satelit Starlink ke Kabupaten Mamasa—wilayah yang benar-benar tidak terjangkau oleh jaringan seluler biasa maupun VSAT—sebagai bentuk nyata upaya menjembatani blank spot digital.

Keseimbangan realita ini membangkitkan pertanyaan krusial: apakah inklusi digital di pelosok negeri ini merupakan harapan yang diperjuangkan secara konkret, atau sekadar ilusi politik usaha?

Salah satu akar persoalan utama keterlambatan digitalisasi di daerah terpencil adalah ketimpangan infrastruktur dan investasi yang timpang antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Pembangunan jaringan internet dan fasilitas pendukungnya masih sangat berpusat di kota-kota besar, sementara daerah seperti Mamasa, Pasangkayu, dan sebagian wilayah Mamuju di Sulawesi Barat baru menikmati sinyal internet secara terbatas—itu pun sering kali bergantung pada proyek bantuan, bukan sistem yang berkelanjutan. Ketika kebijakan digital nasional tidak memperhitungkan kondisi geografis, tingkat literasi digital lokal, serta kesiapan sumber daya manusia, maka program-program tersebut mudah gagal mencapai tujuan inklusifnya.

Selain itu, literasi digital juga menjadi tantangan besar. Di banyak desa terpencil, perangkat sudah tersedia, sinyal sudah masuk, tapi pemanfaatannya belum optimal. Banyak masyarakat belum memahami bagaimana memanfaatkan teknologi untuk kegiatan ekonomi, pendidikan, atau layanan publik. Ini mempertegas bahwa digitalisasi tidak hanya soal jaringan, tapi juga soal pemberdayaan manusia. Tanpa pelatihan, pendampingan, dan pendekatan yang sesuai konteks lokal, inklusi digital hanya akan jadi istilah kosong.

Untuk mewujudkan inklusi digital yang benar-benar merata, pemerintah pusat dan daerah perlu mengubah pendekatan dari sekadar pembangunan infrastruktur fisik menjadi pembangunan ekosistem digital yang berkelanjutan. Pertama, penguatan kolaborasi lintas sektor sangat penting. Pemerintah daerah harus didukung oleh kementerian terkait, penyedia layanan internet, dan juga organisasi masyarakat sipil untuk memastikan akses internet tidak hanya dibangun, tapi juga dijaga kualitas dan kontinuitasnya. Pemanfaatan teknologi alternatif seperti satelit Starlink di Mamasa bisa dijadikan model awal, tapi tidak boleh berhenti di sana.

Kedua, program literasi digital harus diarusutamakan, khususnya di sekolah, pusat komunitas, dan kantor desa. Pelatihan harus disesuaikan dengan konteks lokal—bukan hanya tentang cara menggunakan perangkat, tapi juga bagaimana teknologi bisa dimanfaatkan untuk pertanian, UMKM, pendidikan jarak jauh, dan pelayanan publik. Ketiga, penganggaran berbasis kesenjangan digital harus diadopsi dalam perencanaan pembangunan daerah. Artinya, alokasi anggaran digitalisasi harus lebih besar untuk daerah-daerah dengan skor indeks digital yang rendah.

Terakhir, penting bagi pemerintah untuk secara rutin melibatkan masyarakat lokal dalam perencanaan dan evaluasi program digitalisasi. Tanpa partisipasi dari mereka yang mengalami langsung kesenjangan digital, kebijakan akan tetap bersifat top-down dan berisiko gagal memenuhi kebutuhan riil di lapangan.

Digitalisasi bukan sekadar tren teknologi yang datang dan pergi, melainkan fondasi masa depan pembangunan bangsa. Namun, fondasi itu hanya akan kokoh jika semua lapisan masyarakat, termasuk mereka yang berada di daerah terpencil, turut merasakan manfaatnya. Jika tidak, janji inklusi digital akan menjadi ilusi yang memperlebar jurang kesenjangan sosial dan ekonomi. Saatnya pemerintah, swasta, dan masyarakat bersama-sama menggerakkan langkah konkret agar tidak ada satu daerah pun yang tertinggal. Karena sejatinya, kemajuan digital harus menjadi jembatan, bukan tembok pemisah.